Masyarakat sesungguhnya berdaya dan mampu; sehingga proses inovasi sosial seharusnya diawali pembebasan pemikiran, dimulai dengan mengajak penerima manfaat untuk mampu berpikir kritis dalam menanggapi masalah yang mereka hadapi, dan dari situ memfasilitasi perubahan ke arah yang lebih baik.
Ada pertanyaan menarik dalam webinar Intro to Social Innovator yang diselenggarakan Maxima Impact Consulting dipandu Ivan Ahda tanggal 27 Mei 2024. Dalam diskusi yang diselenggarakan sebagai bagian Social Innovator Mentorship Program Batch #3, seorang peserta bertanya:
“Bagaimana memulai perubahan? Bagaimana berpindah dari charity menjadi pemberdayaan masyarakat. Tools apa yang efektif untuk melakukan itu?”
Menjawab pertanyaan itu Ivan Ahda menyebutkan kesadaran manusia sebagai faktor penting dalam perubahan sosial. “People over process” ungkap Ivan. Tidak ada (proses) perubahan tanpa kesadaran dan kemauan. Mengutip model berpikir sistem (system thinking) menurutnya perubahan adalah ekspresi dari pola pikir manusia atau mental model. Sesungguhnya, perilaku—apa yang ditunjukkan dalam keseharian—seperti puncak gunung es, sebenarnya ditopang beragam gagasan, ideologi, keinginan, dan pengetahuan.
Diskusi ini seperti menarik saya ke masa 10-20 tahun lalu ketika memandu sesi-sesi diskusi partisipatif dalam pemberdayaan masyarakat. Di antara berbagai pertanyaan pembuka diskusi, salah satu yang sering saya ajukan adalah “Mengapa ayam menyeberang jalan?” atau “Mengapa elang terbang, dan ayam tidak?” Biasanya peserta memberikan beragam jawaban, dari yang filsafati, teknis maupun sekedar bercanda. Tidak masalah karena jawaban sesungguhnya sangat sederhana. Karena MAU.
Meskipun nampak tidak serius, jawaban pertanyaan itu sebenarnya lebih dari sekadar gimmick untuk mencairkan suasana, karena dalam konteks perubahan, pemberdayaan, atau pengembangan masyarakat, kemauan atau keinginan adalah dasar utama melakukan perubahan.
Jawaban untuk pertanyaan bagaimana memulai perubahan disampaikan Paulo Freire (1921-1997) seorang pakar pendidikan asal Brasil. Penyadaran (konsientisasi) atau conscientization diambil dari Bahasa Spanyol conscientización yang maknanya mengacu pada pengembangan, penguatan, dan perubahan kesadaran. Istilah ini sampai ke penggiat pemberdayaan masyarakat di Indonesia lewat bukunya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed (diterbitkan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas) yang terbit tahun 1968.
Meski terbit lebih dari setengah abad yang lalu, sampai hari ini buku tersebut masih relevan dan memiliki pengaruh yang besar dalam dunia pendidikan, khususnya pendekatan pedagogi kritis. Menurut Freire, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Dengan demikian, tugas utama pendidikan adalah mengantarkan peserta didik menjadi subjek dan untuk itu proses yang harus dilakukan adalah meningkatkan kesadaran kritis peserta didik dan sekaligus berupaya merubah struktur sosial yang menjadikan ketidaksejahteraan itu berlangsung.
Pandangan ini mengubah bias kegiatan pemberdayaan masyarakat dan inovasi sosial, yang melihat masyarakat sebagai penerima manfaat yang lemah, tidak berdaya, dan perlu untuk selalu diajar, dibimbing, dan tidak dalam keadaan setara untuk diajak bekerjasama. Freire mengisyaratkan bahwa masyarakat sesungguhnya berdaya dan mampu; sehingga proses inovasi sosial seharusnya diawali pembebasan pemikiran, dimulai dengan mengajak penerima manfaat untuk mampu berpikir kritis dalam menanggapi masalah yang mereka hadapi, dan dari situ memfasilitasi perubahan ke arah yang lebih baik.
Kesetaraan juga merupakan elemen kunci dalam pemikiran Freire. Dia menggambarkan pendidikan yang adil sebagai pendidikan di mana semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang. Dalam konteks pemberdayaan, ini adalah tantangan terhadap hierarki tradisional di masyarakat, ketika guru dan inovatif sering memiliki otoritas mutlak. Freire mendukung terbentuknya hubungan horizontal antara guru dan siswa, inovator dan penerima manfaat, sehingga keduanya dapat belajar bersama-sama.
Ivan Ahda menutup diskusi dengan mengingatkan pentingnya manusia dalam pemberdayaan,
“Konsep atau tools itu kembali bergantung kembali kepada manusianya. Manusia yang berbeda, dengan kompetensi dan pengetahuan berbeda, meskipun menggunakan tools yang sama, akan memberikan hasil berbeda.” pungkasnya.
Kembali ke teka-teki ayam, sayap hanyalah tools dan instrumen, yang tidak akan membawanya terbang kemana pun tanpa keinginan.