Hingga saat ini, posisi wanita pekerja masih harus melawan setiap stigma yang menerpa, salah satunya untuk menjadi seorang pemimpin. Stigma ini mencakup asumsi bahwa wanita kurang cocok untuk peran pemimpin—atau lebih baik hanya berperan menjadi seorang pendukung. Kondisi ini merujuk pada istilah glass ceiling, adanya penghalang tidak terlihat yang menghambat kemajuan karier para wanita.
Dalam perjalanan menuju puncak karier, wanita seringkali menghadapi berbagai rintangan yang kompleks, mulai dari bias gender hingga dinamika kekuasaan yang tidak setara. Aspek-aspek seperti cuti menstruasi, kehamilan, dan cuti melahirkan seringkali dipandang melalui lensa prasangka, yang secara tidak adil mempengaruhi proses rekrutmen dan promosi, serta stigma terhadap bagaimana cara wanita dalam menyelesaikan konflik di tempat kerja yang dinilai tidak rasional. Faktor-faktor ini secara kolektif menciptakan lingkungan yang menantang bagi wanita untuk naik ke level manajerial, membatasi kemampuan mereka untuk sepenuhnya mewujudkan potensi karier mereka.
Tantangan lain yang dihadapi wanita adalah menemukan keseimbangan yang tepat antara dunia profesional dan komitmen keluarga. Realitas dari peran ganda ini memaksa wanita untuk secara konstan menavigasi ekspektasi yang seringkali bertentangan di tempat kerja dan di rumah, menuntut strategi manajemen waktu dan prioritas yang cermat. Terlebih lagi, keterbatasan sumberdaya dibandingkan dengan kebutuhan akan sistem pendukung yang solid seringkali menambah kompleksitas dalam mencapai keseimbangan yang sehat antara kehidupan profesional dan pribadi. Dengan mengakui hambatan-hambatan ini adalah langkah awal yang baik dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan mendukung kemajuan wanita dalam kepemimpinan.
Untuk menjawab kondisi ini, mari kita pelajari bagaimana sosok Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat Raden Ajeng atau yang biasa dikenal dengan R.A. Kartini mampu melawan stigma dengan menciptakan transformasi berdampak yang manfaatnya bisa kita rasakan hingga saat ini.
Dalam narasi perjuangan wanita di Indonesia, R.A. Kartini memainkan peran penting sebagai sosok yang tidak hanya memecahkan hambatan tetapi juga menciptakan transformasinya melalui emansipasi wanita. Kisah hidupnya, yang dipenuhi dengan aspirasi untuk pendidikan dan kesetaraan gender, telah menjadi sumber inspirasi sampai sekarang.
Lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879, R.A. Kartini tumbuh dalam lingkungan budaya jawa yang konservatif, di mana wanita diharapkan untuk mengikuti tradisi dan kebiasaan yang ketat. Namun, Kartini menunjukkan ketertarikan dan hasrat yang kuat terhadap pendidikan sejak usia muda. Meski hanya mendapatkan pendidikan formal hingga usia 12 tahun di Europese Lagere School (ELS) untuk belajar bahasa Belanda, ia melanjutkan proses belajarnya secara otodidak dengan membaca berbagai buku serta menjalin pertemanan dengan korespondensinya di Eropa untuk mengkaji pemikiran terhadap kondisi wanita di masing-masing negara. Ini menjadi lembaran baru yang berhasil membuka pandangan Kartini tentang emansipasi wanita dan pentingnya pendidikan dalam memperjuangkan kesetaraan.
Kagum terhadap cara berpikir teman-teman Eropa, mendorong Kartini untuk mendukung wanita pribumi untuk berdaya dari status rendahnya. Memahami bahwa untuk menciptakan perubahan sosial yang berarti, artinya perlu ada akses yang lebih luas terhadap pendidikan bagi wanita. Di tengah keterbatasan yang dihadapinya, perlahan ia berhasil merealisasikan apa yang menjadi keresahannya.
Langkah transformasi yang Kartini lakukan dimulai dari hal kecil dengan tidak menggunakan tradisi feodal dalam keluarga, sehingga adik-adiknya tidak perlu berbicara dengan bahasa jawa krama inggil kepadanya. Perubahan yang dilakukan Kartini menciptakan perspektif baru di kalangan bangsawan. Tidak henti disitu, berbagai langkah transformasi lainnya mendorong Kartini bermuara menciptakan support system untuk melahirkan Sekolah Kartini.
Kartini mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan di Jepara, mengajarkan mereka keterampilan dan pengetahuan yang akan membantu mereka memperoleh kemandirian dan martabat. Hadirnya sekolah yang didirikan Kartini menjadi simbol perlawanan dan tanda awal dari perubahan sosial. Sebab baginya, pendidikan bagi wanita bisa memainkan peran yang lebih signifikan dalam masyarakat, membuka jalan untuk perubahan positif yang lebih luas terhadap organisasi dan komunitas.
Melalui surat-suratnya yang kemudian diterbitkan dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”, ia menyuarakan aspirasi dan harapan untuk wanita Indonesia. Buku ini tidak hanya menginspirasi generasi wanita untuk menuntut hak mereka dalam pendidikan dan kesetaraan sosial tetapi juga mempengaruhi pemikiran para pemimpin dan pembuat kebijakan di Indonesia.
Salah satu pesan terkuat R.A. Kartini adalah kepercayaannya pada kekuatan pendidikan sebagai sarana emansipasi.
“Aku ingin ‘keluar’, aku ingin bekerja, aku ingin berdiri di samping laki-laki saya; aku ingin membebaskan diri dari belenggu yang menahan langkah saya,”
Tulis Kartini dalam salah satu suratnya. Pesan ini menggema melalui waktu, mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan terus berlanjut. R.A. Kartini mengajarkan bahwa bermula dari keresahan terhadap kondisi sekitarnya, memperluas referensi dengan belajar dan koneksi serta kolaborasi, meyakinkan dirinya untuk berani bermimpi dan kekuatan untuk berjuang demi mimpi sebagai inti dari perubahan sosial.
Pada masa kini, keragaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI) sudah menjadi salah satu hal yang penting. Penelitian oleh McKinsey menunjukkan bahwa perusahaan dengan keberagaman gender yang baik di posisi kepemimpinan memiliki peluang profit di atas rata-rata. Maka peran wanita dalam kepemimpinan bukan hanya simbolis, tetapi sebagai kebutuhan strategis yang mendefinisikan masa depan bangsa. Dari perjuangan R.A Kartini kita melihat bagaimana pemimpin wanita tidak hanya meraih kesuksesan pribadi tetapi juga mendorong perubahan signifikan yang membawa manfaat lebih luas bagi organisasi dan masyarakat.
Kisah inspiratif R.A Kartini menjadi landasan kuat untuk menjawab setiap stigma yang menerpa wanita. Maka untuk memainkan peran menjadi seorang pemimpin wanita baik di organisasi perusahaan maupun komunitas, patut diimbangi dengan berbagai keterampilannya sebagai untuk menjadi pemimpin wanita di dunia professional atau pun ranah lainnya.
Menjadi salah satu acuan Maxima dalam menumbuhkan jiwa kepemimpinan dengan konsep Purposeful Leadership, dimana seorang pemimpin yang mampu memahami dan menghayati tujuan unik mereka dan memberikan dampak positif dari setiap keputusannya. Konsep ini menitikberatkan pada penggalian strong why seorang pemimpin sehingga mampu memberikan kejelasan arahan saat menavigasi situasi kompleks yang datang sebagai seorang pemimpin.
Komunikasi asertif merupakan salah satu kunci utama bagi pemimpin dalam membentuk tim yang kuat dan inklusif. Ekspresi diri yang jujur, tegas, dan terbuka tanpa menghakimi menciptakan lingkungan yang kondusif untuk menyelesaikan masalah secara konstruktif. Hal ini memungkinkan tim untuk bekerja dengan lebih efisien dan inovatif, memperkuat sense of belonging di antara anggota tim.
Untuk menginisiasi perubahan tentu tidak akan efektif jika dilakukan sendiri. Kolaborasi dengan berbagai pihak menjadi salah satu syarat untuk menjemput kemudahan dalam merealisasikan perubahan. Dengan melibatkan dan mendapatkan dukungan dari pasangan, anggota keluarga serumah, serta membangun koneksi dengan role model perempuan dan grup wanita sebaya mendorong kita untuk selangkah lebih dekat untuk mengejar kesuksesan menjadi pemimpin wanita.
Dengan mendorong keberagaman, kesetaraan, dan inklusi, wanita pemimpin tidak hanya meruntuhkan hambatan tetapi juga membuka jalan untuk melahirkan inovasi, pertumbuhan, dan pembangunan yang berkelanjutan. Maxima percaya bahwa setiap inisiatif, besar atau kecil, memiliki kontribusi untuk perubahan yang lebih besar. Bersama kita pastikan setiap wanita memiliki kesempatan untuk berkontribusi, tumbuh, dan memimpin. Ingin ciptakan lingkungan kerja yang inklusif? Temukan solusinya bersama Maxima Impact Consulting.