Saat ini ulasan seputar Corporate Social Responsibility (CSR) tengah menjadi topik perdebatan di dunia bisnis dalam beberapa dekade terakhir. Pasalnya, sejak dulu CSR dianggap sebagai pengeluaran tanpa pengembalian finansial secara langsung yang merujuk pada anggapan CSR sebagai pusat biaya (cost center). Namun, perspektif ini mengalami perubahan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Sejak dibentuknya peraturan akan kewajiban pelaksanaan CSR yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP 47/2012), kini banyak perusahaan (Gambar 1) dan pemimpin bisnis visioner melihat CSR sebagai investasi strategis yang mampu memberikan manfaat substansial.
Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 bagaimana pertumbuhan CSR di China dari tahun 2006 hingga 2009 yang terjadi secara signifikan. Menurut MDPI (2021) hal ini berkaitan dengan penetapan regulasi CSR dan kewajiban pelaporan CSR. Kondisi ini semakin krusial saat mengetahui kondisi stagnan terjadi pada angka sekitar 25% rentang tahun 2017 sampai 2019 dari total perusahaan yang terdaftar. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak memiliki insentif untuk meluncurkan proyek CSR atau mengadopsi sistem pelaporan CSR.
Sebelum menjawab tantangan tersebut, kita perlu membingkai diskusi dengan tepat melalui penetapan definisi yang jelas tentang CSR. Merujuk pada Wineberg dan Rudolph (2004), mereka memberikan deskripsi yang komprehensif, yaitu corporate social responsibilities adalah “Kontribusi yang diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat melalui kegiatan bisnis utamanya, program investasi sosial dan filantropinya, serta keterlibatannya dalam kebijakan publik” (Wineberg, 2004). Definisi ini menekankan peran integral yang dimainkan oleh CSR dalam strategi keseluruhan perusahaan, tidak hanya mencakup kegiatan amal tetapi juga bagaimana perusahaan menjalankan bisnis utamanya dan terlibat dengan isu-isu sosial yang lebih luas.
Salah satu aspek kunci dari CSR adalah fungsinya sebagai investasi sosial (social investment). Investasi sosial mengacu pada penggunaan dana yang dapat dikembalikan untuk membantu organisasi mencapai tujuan sosial. Ini adalah alat yang paling mendekatkan perusahaan dalam peningkatan dampak sosial mereka sembari menyelaraskan tujuan bisnis melalui kebaikan sosial. Pendekatan ini melihat inisiatif CSR lebih dari sekadar filantropi, yaitu menjadikan CSR sebagai upaya strategis untuk menghasilkan peningkatan persepsi publik, loyalitas merek (brand), dan hubungan dengan berbagai pemangku kepentingan yang lebih kuat. Meskipun hasilnya tidak selalu mampu terukur secara langsung dalam istilah finansial, hal tersebut terbukti signifikan mampu meningkatkan profitabilitas dan kesuksesan jangka panjang perusahaan ketika dikelola dengan tepat.
Anggapan CSR dipandang sebagai cost center menjadi stigma yang mendorong perusahaan memiliki pandangan skeptis dalam melakukan investasi terhadap inisiatif berdampak sosial. Alih-alih menghasilkan program yang memberikan manfaat jangka panjang, program tersebut justru menjadi seperti produk konsumtif. Misalnya, program CSR yang berfokus pada proyek-proyek yang sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs)—seperti pengurangan emisi karbon, program pendidikan untuk masyarakat, atau upaya konservasi lingkungan—memerlukan biaya operasional yang besar. Akibatnya, meskipun program ini menawarkan banyak manfaat bagi masyarakat dan lingkungan, perusahaan sering kali memandangnya sebagai beban tambahan pada anggaran, mempersepsikannya layaknya produk konsumtif. Lantas, mengapa demikian?
Hal tersebut terjadi manakala perusahaan tidak mampu mengidentifikasi tujuan program CSR secara konkret yang menjadikan fungsi CSR tidak berjalan secara optimal. Hal ini dibuktikan bahwa inisiatif CSR sering berumur pendek dan amat bergantung pada keinginan eksekutif senior. Kurangnya partisipasi dari fungsi komersial dan input konteks lokal membuat program CSR hanya berfokus pada pembatasan dampak reputasi, bukan menciptakan nilai jangka panjang (HBR, 2016). Sementara itu, riset yang dilakukan oleh McKinsey (2010) menunjukkan bahwa, rata-rata, 30% dari pendapatan perusahaan dipertaruhkan dalam hal hubungan perusahaan dengan masyarakat.
Ketika tren dan dorongan perusahaan untuk menggerakkan dampak sosial dengan pertaruhan pendapatan, berbagai perusahaan mendorong CSR sebagai kanal “return of investment” ke proses bisnis dengan pengelolaan secara bijak. Maka untuk menyikapi hal tersebut, kini paradigma baru CSR telah hadir, di mana CSR tidak lagi dianggap sebagai cost center semata, melainkan sebagai investasi sosial jangka panjang yang strategis. Bagaimana?
Gagasan bahwa CSR sebagai pusat keuntungan perlahan semakin diterima dalam pemikiran bisnis modern. Dazahro, seperti dikutip dalam Totok Mardikanto (2014), menyarankan bahwa CSR harus dilihat sebagai investasi untuk pertumbuhan dan keberlanjutan perusahaan. Perspektif ini melihat CSR tidak hanya sebagai kewajiban sosial tetapi sebagai alat strategis untuk meningkatkan hasil bisnis. Mari kita jelajahi beberapa manfaat utama yang mendukung pandangan ini:
Kegiatan CSR dapat secara signifikan meningkatkan reputasi perusahaan, membuatnya lebih menarik bagi konsumen, calon karyawan, dan investor. Reputasi yang kuat dapat menyebabkan peningkatan penjualan, kemudahan dalam merekrut talenta terbaik, dan kepercayaan investor yang lebih besar. Perusahaan yang menunjukkan komitmen mereka terhadap CSR melalui penerapan strategi keberlanjutan yang komprehensif terbukti mengalami peningkatan produktivitas karyawan hingga 13% dan pengurangan turnover hingga 50% (PR Newswire, 2015).
Inisiatif CSR yang dijalankan dengan baik dapat meningkatkan kesadaran dan loyalitas brand, menjadikan CSR alat branding yang kuat, karena 82% konsumen kini mempertimbangkan tanggung jawab sosial perusahaan saat memutuskan dimana berbelanja, membeli, dan merekomendasikan produk. Riset lain menunjukkan bahwa inisiatif CSR berdampak pada kepuasan terhadap merek secara tidak langsung melalui citra dan ekuitas merek. Oleh karena itu, perusahaan harus berupaya untuk mengkomunikasikan inisiatif CSR mereka kepada target yang paling loyal agar dapat menjangkau konsumen dan memberikan nilai lebih pada merek.
Terlibat dalam CSR memperkuat hubungan positif dengan pemangku kepentingan kunci, termasuk komunitas loka hingga pemerintah. Hubungan ini dapat mempermudah bisnis, mengurangi konflik, dan membuka peluang baru untuk kolaborasi dan pertumbuhan. Hal ini dilakukan oleh Lego yang sejak 2021, mereka telah menguji coba kantong kertas dalam kotak bekerja sama dengan Forest Stewardship Council. Lego akan menginvestasikan $400 juta dalam upaya keberlanjutannya dalam beberapa tahun mendatang.
Di pasar yang padat, program CSR yang unik dan berdampak dapat membedakan perusahaan dari pesaingnya. Diferensiasi ini bisa menjadi faktor kunci dalam pilihan konsumen dan preferensi merek. Mengutip Zipdo dalam Procurement Tactics menyebutkan bahwa 42% perusahaan di seluruh dunia menggunakan CSR sebagai alat diferensiasi dari pesaing. Hal ini dapat menjadi salah satu strategi perusahaan dalam membangun keunggulan kompetitif.
Inisiatif CSR sering kali mendorong inovasi dalam perusahaan yang mengarah pada pengembangan produk, layanan, dan proses baru. Misalnya, upaya untuk mengurangi dampak lingkungan dapat menghasilkan operasi yang lebih efisien atau penciptaan produk ramah lingkungan yang menarik bagi konsumen yang peduli lingkungan.
Perusahaan dengan program CSR yang kuat mungkin lebih mudah menarik investasi dan pembiayaan. Banyak investor kini mempertimbangkan faktor Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) saat membuat keputusan investasi, memberikan keuntungan bagi perusahaan yang berfokus pada CSR di pasar modal.
Upaya CSR yang konsisten dan dikomunikasikan dengan baik dapat meningkatkan nilai pasar dan harga saham perusahaan. Studi menunjukkan bahwa perusahaan dengan praktik CSR yang kuat sering kali mengungguli rekan-rekannya di pasar saham dalam jangka panjang.
Implementasi CSR yang efektif akan mengurangi risiko operasional, meningkatkan reputasi merek, dan membangun loyalitas pelanggan yang kuat sehingga meningkatkan kontribusi pada profitabilitas jangka panjang (Investopedia, 2024). Dalam buku Kajian Implementasi Corporate Social Responsibility (2022) menerangkan pelaksanaan CSR mendorong praktik bisnis yang etis sehingga mampu meningkatkan partisipasi karyawan, menciptakan dukungan komunitas, hingga terbangunnya keterlibatan siklus positif yang mendorong inovasi dan pertumbuhan.
Perusahaan yang mengintegrasikan CSR dalam strategi inti, mereka dapat lebih efektif menghadapi regulasi, menarik investor yang peduli sosial, dan membangun identitas merek yang tangguh.
Dengan demikian, CSR menjadi komponen penting dalam kerangka strategi perusahaan, menyeimbangkan biaya jangka pendek dengan manfaat jangka panjang yang substansial, dan memastikan kesuksesan berkelanjutan dalam pasar yang kompetitif dan membangun kesadaran sosial.
Secara praktis, untuk mendorong CSR yang strategis yang berorientasi terhadap Profit Center, perlu mempertimbangkan tiga elemen utama yang dikenal dengan Konsep Triple Bottom Line yang dijelaskan pada buku Cannibals With Forks oleh John Elkington (1994). Konsep ini menggabungkan tiga elemen penting yang harus diperhatikan dalam menciptakan kesinambungan antara keuntungan, masyarakat, dan lingkungan dalam kegiatan bisnis. Tiga elemen tersebut adalah people, prosperity, dan planet, yang masing-masing memiliki peran penting dalam memastikan keberlanjutan perusahaan.
Merujuk pada dampak perusahaan terhadap individu dan kelompok yang menjadi sasaran kegiatan bisnisnya. Dukungannya sangat vital bagi kelangsungan dan perkembangan perusahaan. Elemen ini mencakup karyawan, keluarga mereka, pelanggan, pemasok, komunitas, dan semua pihak yang dipengaruhi atau mempengaruhi perusahaan.
Mencerminkan dampak perusahaan terhadap ekonomi lokal, nasional, dan internasional. Ini mencakup tantangan dalam memaksimalkan kemakmuran sambil tetap mempertimbangkan masyarakat dan lingkungan. Elemen ini meliputi penciptaan lapangan kerja, inovasi, pembayaran pajak, penciptaan kekayaan, dan berbagai dampak ekonomi lainnya yang dihasilkan oleh perusahaan.
Berkaitan dengan kondisi lingkungan yang terpengaruh oleh aktivitas perusahaan. Kelangsungan hidup masyarakat dan perusahaan sangat bergantung pada kondisi lingkungan, sehingga perhatian terhadap lingkungan menjadi esensial.
Konsep Triple Bottom Line ini menjadi landasan bagi perusahaan dalam meningkatkan sistem yang lebih berkelanjutan melalui implementasi Corporate Social Responsibility (CSR). Dengan mempertimbangkan ketiga elemen ini, perusahaan dapat memberikan kontribusi yang lebih berarti bagi masyarakat dan lingkungan, sambil tetap menjaga profitabilitas.
Untuk menggambarkan bagaimana CSR dapat berfungsi sebagai pusat keuntungan (profit center), mari kita telaah studi kasus kolaborasi Maxima Impact Consulting dalam mendukung inisiatif dampak dari PT BUKIT MAKMUR MANDIRI UTAMA INDONESIA (BUMA) yang berkomitmen menjalankan keberlanjutan dalam bisnis pertambangan batubara dan tanggung jawab sosial dengan program pengembangan masyarakat melalui pendampingan kelompok tani untuk pembangunan pertanian berkelanjutan. Salah satu inisiatif utamanya adalah program Sustainable Agriculture di Desa Umaq Dian, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang mencakup asesmen agroekosistem dengan konsep pertanian berkelanjutan, bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dalam kasusnya, strategi yang dicanangkan dalam program ini sebagai upaya BUMA untuk memastikan kesinambungan roda ekonomi dan lingkungan pasca proyek pertambangan berakhir. Sebagai langkah preventif, melalui Sustainable Agriculture telah memberi dampak pada 16 petani dengan luas lahan 11.400 meter persegi terdampak, menghasilkan peningkatan hasil panen hingga 30%, pendapatan naik 10,4%, dan panen tercapai 71,4%. Pada 16 petani yang terlibat, mereka menunjukkan minat yang tinggi dalam pengelolaan pertanian sehingga membuka potensi pengembangan unit usaha produksi komponen input pertanian seperti pupuk organik, nutrisi tanaman organik, pestisida organik, dan memanfaatkan bahan lokal yang tersedia.
Melalui implementasi tersebut, Maxima percaya untuk senantiasa memberikan dampak strategis dengan mendukung program CSR yang berorientasi terhadap Profit Center. Dengan melihat CSR sebagai investasi dibanding sebatas pengeluaran, bisnis dapat menciptakan nilai bersama yang menguntungkan bagi seluruh pihak terkait. Ingin membangun inisiatif berdampak melalui program CSR yang bermakna bagi penerima manfaat? Konsultasikan bersama Maxima Impact Consulting dan temukan berbagai strategi menciptakan transformasi yang berdampak!