Implementasi program Corporate Social Responsibility (CSR) seringkali disalahpahami sebagai sekadar kegiatan filantropi, di mana perusahaan memberikan sumbangan atau bantuan keuangan untuk tujuan sosial. Padahal, CSR seharusnya bisa membuat program lebih dari itu. Mengacu dari ISO 26000 CSR adalah komitmen perusahaan untuk berkontribusi pada pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan meningkatkan kualitas kehidupan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal, hingga masyarakat luas. Jika fokus CSR hanya fokus pada kegiatan filantropi, hal ini hanya akan mengaburkan tujuan sebenarnya, yaitu menciptakan dampak positif jangka panjang yang sejalan dengan tujuan bisnis.
Jika ditilik kembali bagaimana kondisi Indonesia saat ini, tentu masih menghadapi berbagai tantangan dari berbagai aspek, seperti nilai rupiah yang kian meningkat, berbagai tindak kecurangan di dunia pendidikan, hingga yang terbaru jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin meroket. Kondisi ini memerlukan perhatian lebih dari sekadar filantropi. Di antara banyaknya permasalahan yang menghadang, salah satu isu utama yang krusial terhadap pembangunan bangsa adalah bagaimana pendidikan dapat menjadi kebutuhan utama secara merata bagi seluruh penduduk Indonesia.
Hingga kini warga negara Indonesia yang berada di daerah terpencil nyatanya masih harus menghadapi keterbatasan akses pendidikan yang memadai sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat literasi di kalangan anak-anak di Indonesia. Menurut UNESCO, hanya 0,01 persen anak Indonesia yang suka membaca (Penulis Indonesia, 2016), dan pada tahun 2015, data Perpustakaan Nasional mengungkapkan hanya 10% anak Indonesia di atas sepuluh tahun yang berminat membaca (Kurniasih, 2016).
Selain itu, akses terhadap literasi juga menjadi masalah penting. Kemampuan membaca dan menulis adalah dasar untuk peningkatan kualitas hidup, namun hingga kini masih banyak masyarakat yang belum memiliki akses yang memadai ke bahan bacaan dan pendidikan literasi.
Jika ditelaah kembali, agenda CSR memiliki irisan dengan kegiatan filantropi yang sudah dilakukan Lembaga Amil Zakat (LAZ) di mana kesehariannya mengelola dana masyarakat menjadi kegiatan filantropi. Kegiatan filantropi umumnya berupa donasi atau bantuan satu kali yang diberikan kepada masyarakat atau lembaga sosial, termasuk kegiatan filantropi untuk pendidikan. Hal ini bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek tetapi tidak selalu berkelanjutan.
Berdasarkan fungsi LAZ yang tercantum pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Pengelola Zakat merupakan lembaga yang berwenang melakukan kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Pengelola zakat dikategorikan menjadi dua yakni, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai pengelola lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagai lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Tidak hanya menyalurkan dana zakat, pengelola zakat juga mengumpulkan dana Infaq, Sedekah, Wakaf (Ziswaf) maupun dana Dana Sosial Keagamaan Lainnya (DSKL) untuk menjalankan berbagai program pemberdayaan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup mustahik (penerima zakat). Seiring berkembangnya pengetahuan terhadap keberlanjutan, kini program-program LAZ juga semakin beragam seperti pelatihan keterampilan, bantuan modal usaha, dan dukungan pendidikan dirancang untuk memberdayakan penerima sehingga mereka bisa mandiri dan meningkatkan taraf hidup mereka secara signifikan.
Lantas, jika perusahaan masih berorientasi terhadap filantropi, maka apa bedanya program CSR dengan LAZ di Indonesia?
Pada tahun 2023, BAZNAS Pusat telah menyalurkan zakat sebesar Rp675 miliar di mana angka pertumbuhannya mencapai 15.48% yang disalurkan pada kegiatan beasiswa dan pendidikan, bantuan sosial kemanusiaan, hingga pengembangan ekonomi masyarakat. Di sisi lain, pengelolaan dana CSR tidak ditentukan secara spesifik oleh undang-undang tetapi ketentuan kewajiban melakukan program CSR telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Namun, mengutip dari Peraturan Daerah Kalimantan Timur 3/2013 Pasal 23 ayat (1) menerangkan alokasi pembiayaan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) minimal 3 persen dari keuntungan bersih perusahaan setiap tahunnya.
Dengan potensi ini, maka untuk membangun Indonesia yang lebih strategis, kolaborasi antar berbagai pihak sangat diperlukan. Mari kita petakan tujuan berdasarkan fungsi tiap-tiap stakeholder.
Pemerintah sebagai pihak yang strategis dapat menyusun regulasi dan insentif perencanaan pembangunan bangsa yang melibatkan setiap stakeholder dari perusahaan swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) hingga komunitas lokal. Hal ini bertujuan untuk memetakan perencanaan yang strategis terhadap batas area yang perlu diintervensi oleh pihak-pihak terkait. Hal ini mendorong agar optimalisasi kegiatan CSR agar tidak hanya terfokus pada program filantropi tetapi juga mendorong perusahaan dan organisasi untuk melakukan investasi terhadap program CSR yang berkelanjutan sekaligus menjadi agenda pengembangan bangsa dan negara yang lebih strategis.
Sebagaimana fungsinya, pengelola dana Ziswaf dapat berperan dalam menyalurkan dana dari masyarakat ke program-program yang berdampak sosial, seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Sebagai langkah pengentasan permasalahan jangka pendek, dan ini diperlukan untuk kondisi-kondisi tertentu.
Dengan sumber daya yang dimiliki badan usaha, hal ini dapat mengimplementasikan program-program CSR yang tidak hanya berfokus pada filantropi, tetapi juga pada implementasi program yang memiliki dampak jangka panjang seperti peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan ekonomi, pelatihan keterampilan, dan pembangunan infrastruktur yang selaras dengan visi organisasi dan memuat tujuan SDGs. Salah satu inovasi yang dapat dilakukan oleh badan usaha dalam mengentas pendidikan yakni level up dari pemberian bantuan dana pendidikan-yang sudah dilakukan oleh Pengelola Ziswaf maupun pemerintah-melalui program beasiswa yang berkelanjutan.
Berdasarkan ulasan ini, nyatanya hadirnya CSR hingga kini masih terjebak memperbaiki citra, tanpa memastikan analisis kondisi masalah pada penerima manfaat sebagai rencana penyusunan program CSR yang memiliki dampak positif dan berkelanjutan. Kondisi ini mengajak kita untuk reflektif sekaligus berpikir strategis terhadap rencana program-program CSR selanjutnya dengan bertanya:
“Ladang kontribusi mana yang hendak CSR pijaki untuk membangun bangsa yang lebih baik?”
Dengan pertanyaan ini, harapannya dapat memantik hadirnya program CSR yang lebih bermakna dengan pendekatan jangka panjang dan berdampak positif bagi pihak terkait, sehingga kolaborasi dengan stakeholder bukan menjadi beban melainkan sebagai peluang potensi kontribusi yang strategis dan sistemik.
Organisasi Anda ingin membangun inisiatif berdampak melalui program CSR yang bermakna bagi penerima manfaat? Konsultasikan bersama Maxima Impact Consulting dan temukan berbagai strategi menciptakan transformasi yang berdampak!