Pada awal Maret 2025, wilayah Bekasi kembali dilanda banjir parah akibat hujan deras yang mengguyur sejak Senin malam, 3 Maret 2025 (Reuters, 2025). Banjir di Bekasi ini menyebabkan ribuan warga harus mengungsi, merendam ratusan rumah, dan melumpuhkan berbagai fasilitas umum, termasuk rumah sakit dan pusat perbelanjaan. Ketinggian air di beberapa lokasi bahkan mencapai 3 meter, memaksa evakuasi pasien di rumah sakit dan menutup operasional mal serta stasiun kereta. (Detikcom, 2025)
Fenomena ini bukan sekadar masalah curah hujan tinggi, tetapi juga akibat dari berbagai faktor sistemik yang saling berkaitan. Mulai dari tata kelola air hingga alih fungsi lahan, ada banyak aspek yang perlu diperbaiki agar masalah ini tidak terus berulang.
Pertumbuhan penduduk yang pesat di Bekasi telah mendorong ekspansi pemukiman dan kawasan industri tanpa perencanaan drainase yang memadai. Akibatnya, banyak area resapan air berkurang sehingga meningkatkan risiko banjir.
Sistem drainase di Bekasi belum mampu mengakomodasi peningkatan debit air saat musim hujan. Banyak saluran air tersumbat sampah atau mengalami sedimentasi yang menyebabkan rendahnya efektivitas dalam mengalirkan air hujan.
Sungai-sungai di Bekasi, seperti Kali Bekasi, mengalami penyempitan akibat sedimentasi dan alih fungsi bantaran sungai menjadi pemukiman. Pencemaran air dari limbah domestik dan industri juga memperparah kondisi sungai sehingga mengurangi kapasitasnya dalam menampung air hujan.
Selain itu, perubahan pola hujan akibat krisis iklim berperan dalam meningkatkan risiko banjir di Bekasi. Intensitas curah hujan ekstrem di wilayah Jabodetabek meningkat dalam beberapa waktu terakhir, hal ini juga diperparah oleh fenomena cuaca seperti La Niña.
Banjir di Bekasi tidak hanya menyebabkan kerugian materiil, tetapi juga mengganggu aktivitas ekonomi dan sosial. Ribuan rumah terendam, memaksa warga mengungsi dan meningkatkan risiko penyakit akibat genangan air. Sektor industri juga terdampak, dengan terhambatnya mobilitas logistik dan aktivitas produksi, yang berdampak langsung pada perekonomian kota.
Kondisi ini mencerminkan perlunya pendekatan sistemik dalam pengelolaan kota, salah satunya melalui implementasi prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance). Tanpa kebijakan yang mempertimbangkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, tata kelola lingkungan, dan kesejahteraan sosial, urbanisasi yang pesat akan terus memperburuk kondisi lingkungan. Prinsip ESG dapat menjadi landasan untuk merancang kebijakan yang lebih berkelanjutan, termasuk dalam mitigasi banjir, pengelolaan air, serta perencanaan tata kota yang adaptif terhadap perubahan iklim.
ESG adalah prinsip yang mengedepankan keberlanjutan dalam aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam pengelolaan bisnis maupun pemerintahan. Implementasi ESG dalam tata kelola kota dapat berperan besar dalam mengatasi banjir secara sistemik serta meningkatkan nilai fungsi kota itu sendiri.
Secara umum ESG memetakan fungsi dengan orientasi keberlanjutan, maka dari itu penanganan yang dilakukan tidak terbatas pada langkah penyelesaian masalah saat ini, tetapi juga langkah preventif untuk rencana selanjutnya.
Untuk mengatasi banjir dengan proyeksi jangka panjang, perlu pendekatan sistemik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Beberapa strategi yang dapat diterapkan meliputi:
Pemerintah daerah perlu mengembalikan fungsi ruang terbuka hijau agar mampu menyerap air hujan dengan lebih efektif. Kota-kota besar seperti Singapura telah menerapkan kebijakan “sponge city” yang memanfaatkan taman-taman kota untuk pengelolaan air secara alami.
Pembersihan saluran drainase secara berkala serta proyek normalisasi Kali Bekasi harus terus dilakukan agar kapasitas penampungan air meningkat. Penggunaan teknologi drainase berkelanjutan, seperti sumur resapan dan biopori, juga dapat membantu mengurangi risiko banjir.
Pembangunan kawasan industri dan pemukiman harus mempertimbangkan aspek lingkungan dengan memastikan adanya zona resapan air yang cukup. Regulasi yang lebih ketat diperlukan untuk mengontrol alih fungsi lahan di daerah rawan banjir.
Edukasi mengenai pengelolaan sampah dan peran masyarakat dalam mitigasi banjir sangat penting. Kampanye publik melalui peningkatan kesadaran dapat mendorong perubahan perilaku masyarakat dalam menjaga kebersihan sungai dan mengurangi penggunaan plastik dapat membantu mengurangi penyumbatan drainase.
Banjir yang terjadi di Bekasi menjadi salah satu masalah kompleks yang membutuhkan solusi berbasis sistem. Dengan pendekatan yang mengintegrasikan perencanaan kota, kebijakan lingkungan, serta partisipasi aktif masyarakat, risiko banjir dapat diminimalkan.
Sebagai bagian dari upaya membangun dampak positif, Maxima Impact Consulting telah berpengalaman dalam merancang solusi kebijakan, advokasi, serta strategi mengubah perilaku sosial demi terciptanya perubahan yang sistemik. Mari bersama-sama menciptakan kota yang lebih tangguh dan berkelanjutan!